Budaya Lokal dan Inovasi Pembelajaran Kewarganegaraan

Apakah nilai-nilai budaya lokal dan inovasi warga digital merupakan dua pendekatan yang saling bertentangan, atau justru bisa bersinergi untuk masa depan pendidikan Pancasila? Selama bertahun-tahun, pendidikan karakter di Indonesia lebih banyak dibangun melalui dua jalur utama, yakni Integrasi nilai budaya lokal, seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973) dan pendekatan etnopedagogi yang diperkuat oleh Tilaar (2004); Di sisi lain, kita melihat munculnya pendekatan baru berbasis teknologi dan partisipasi warga digital melalui konsep Direct Citizen Innovation—pendekatan reflektif yang mendorong kolaborasi warga dalam membangun nilai dan solusi sosial melalui media digital.

Kedua pendekatan ini sering diposisikan secara dikotomis; Nilai budaya dianggap lamban, tradisional, dan lokal dan Inovasi warga digital dianggap cepat, disruptif, dan global. Namun pertanyaannya: Apakah keduanya benar-benar tidak bisa berjalan bersama?

Budaya Lokal sebagai Sistem Makna yang Dinamis

Clifford Geertz (1973) memandang budaya sebagai jaringan makna yang ditenun manusia dan perlu ditafsirkan melalui pendekatan thick description. Dalam konteks Madura, praktik seperti taretantemor pote tolang, atau ghibeng bukan sekadar tradisi, tetapi cerminan nilai-nilai yang membentuk identitas sosial dan moral masyarakat. Pendekatan ini menegaskan bahwa pendidikan karakter harus dimulai dari akar makna lokal. Seperti yang ditegaskan UNESCO (2023), pendidikan nilai yang kontekstual memiliki peluang lebih besar untuk membentuk perilaku reflektif dan empatik pada generasi muda(UNESCO, 2023).

Inovasi Warga sebagai Ruang Reflektif dan Kolaboratif

Sebaliknya, pendekatan Direct Citizen Innovation menekankan bahwa nilai-nilai sosial tidak cukup diwariskan, tetapi perlu diciptakan dan dikontekstualisasi ulang oleh warga secara aktif melalui proses kolaboratif, digital, dan reflektif (Vallor, 2021; OECD, 2023). Dalam pendidikan, ini berarti siswa bukan hanya menerima nilai, tetapi menjadi co‑creator nilai melalui media digital, game edukatif, atau proyek komunitas. Penelitian terbaru oleh Ruohonen & Hjerppe (2024) menunjukkan bahwa inovasi berbasis komunitas digital—yang menggabungkan teknologi, lokalitas, dan refleksi—dapat meningkatkan literasi etika dan rasa kepemilikan siswa terhadap nilai-nilai warga negara(arXiv:2403.03195).

Memadukan yang Lokal dan Digital: Bukan Pilih Salah Satu

Seperti ditekankan OECD (2023), pelibatan warga secara deliberatif dalam inovasi kebijakan pendidikan menghasilkan keputusan yang lebih inklusif dan berkelanjutan(OECD, 2023), budaya lokal dan inovasi warga digital dapat bersinergi dalam strategi pendidikan karakter. Alih-alih menempatkan budaya lokal sebagai “hiasan” kurikulum dan inovasi sebagai solusi asing yang lepas konteks, pendekatan etnopedagogi digital memungkinkan: pertama, budaya lokal menjadi materi hidup, bukan sekadar konten; kedua, Siswa menjadi penafsir aktif makna budaya melalui digital storytelling, game edukatif, dan media reflektif; Ketiga, komunitas dilibatkan sebagai co-designer dalam kurikulum, bukan objek pasif pembelajaran.

Internalisasi Nilai Budaya dalam Desain Game Edukatif

Salah satu eksperimen yang dikembangkan di Madura adalah game edukatif “Petualangan Taretan”—sebuah prototipe yang mengintegrasikan nilai solidaritas, keberanian, dan hormat kepada orang tua dalam format digital interaktif. Desain ini mengikuti prinsip Direct Citizen Pedagogy yang dikembangkan oleh Musa Institute—pendekatan reflektif-partisipatif berbasis nilai Pancasila dan digital ethics melalui:

  • Menjadi pemain aktif dalam cerita;
  • Menghadapi dilema moral yang menuntut keputusan;
  • Merefleksikan nilai melalui jurnal digital yang dianalisis guru.

Jadi, apakah nilai budaya lokal dan inovasi warga digital saling bertentangan? Tidak. Justru keduanya saling membutuhkan. Budaya lokal memberi akar dan makna; sedangkan Inovasi warga memberi ruang dan alat untuk aktualisasi nilai secara kontekstual. Pendidikan Pancasila dan karakter digital di abad ke-21 bukan hanya soal menghafal nilai, tetapi tentang menafsirkan, merefleksikan, dan menciptakan nilai bersama.

Di sinilah masa depan pendidikan kewargaan: bukan sekadar “pendidikan tentang warga negara,” tetapi pendidikan oleh warga negara, untuk menciptakan masa depan yang lebih etis, kolaboratif, dan kontekstual.

Referensi (Bacaan Lebih Lanjut)

Penulis: Dr. Mujtahidin, S.Pd., M.Pd.
Lecturer at University of Trunojoyo Madura
Founder of Musa Foundation

mujtahidin@trunojoyo.ac.id

Civica Nusantara
Musa Institute, Indonesia

Apakah nilai-nilai budaya lokal dan inovasi warga digital merupakan dua pendekatan yang saling bertentangan, atau justru bisa bersinergi untuk masa depan pendidikan Pancasila? Selama bertahun-tahun, pendidikan karakter di Indonesia lebih banyak dibangun melalui dua jalur utama, yakni Integrasi nilai budaya lokal, seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973) dan pendekatan etnopedagogi yang diperkuat oleh Tilaar (2004); Di sisi lain, kita melihat munculnya pendekatan baru berbasis teknologi dan partisipasi warga digital melalui konsep Direct Citizen Innovation—pendekatan reflektif yang mendorong kolaborasi warga dalam membangun nilai dan solusi sosial melalui media digital.

Kedua pendekatan ini sering diposisikan secara dikotomis; Nilai budaya dianggap lamban, tradisional, dan lokal dan Inovasi warga digital dianggap cepat, disruptif, dan global. Namun pertanyaannya: Apakah keduanya benar-benar tidak bisa berjalan bersama?

Budaya Lokal sebagai Sistem Makna yang Dinamis

Clifford Geertz (1973) memandang budaya sebagai jaringan makna yang ditenun manusia dan perlu ditafsirkan melalui pendekatan thick description. Dalam konteks Madura, praktik seperti taretantemor pote tolang, atau ghibeng bukan sekadar tradisi, tetapi cerminan nilai-nilai yang membentuk identitas sosial dan moral masyarakat. Pendekatan ini menegaskan bahwa pendidikan karakter harus dimulai dari akar makna lokal. Seperti yang ditegaskan UNESCO (2023), pendidikan nilai yang kontekstual memiliki peluang lebih besar untuk membentuk perilaku reflektif dan empatik pada generasi muda(UNESCO, 2023).

Inovasi Warga sebagai Ruang Reflektif dan Kolaboratif

Sebaliknya, pendekatan Direct Citizen Innovation menekankan bahwa nilai-nilai sosial tidak cukup diwariskan, tetapi perlu diciptakan dan dikontekstualisasi ulang oleh warga secara aktif melalui proses kolaboratif, digital, dan reflektif (Vallor, 2021; OECD, 2023). Dalam pendidikan, ini berarti siswa bukan hanya menerima nilai, tetapi menjadi co‑creator nilai melalui media digital, game edukatif, atau proyek komunitas. Penelitian terbaru oleh Ruohonen & Hjerppe (2024) menunjukkan bahwa inovasi berbasis komunitas digital—yang menggabungkan teknologi, lokalitas, dan refleksi—dapat meningkatkan literasi etika dan rasa kepemilikan siswa terhadap nilai-nilai warga negara(arXiv:2403.03195).

Memadukan yang Lokal dan Digital: Bukan Pilih Salah Satu

Seperti ditekankan OECD (2023), pelibatan warga secara deliberatif dalam inovasi kebijakan pendidikan menghasilkan keputusan yang lebih inklusif dan berkelanjutan(OECD, 2023), budaya lokal dan inovasi warga digital dapat bersinergi dalam strategi pendidikan karakter. Alih-alih menempatkan budaya lokal sebagai “hiasan” kurikulum dan inovasi sebagai solusi asing yang lepas konteks, pendekatan etnopedagogi digital memungkinkan: pertama, budaya lokal menjadi materi hidup, bukan sekadar konten; kedua, Siswa menjadi penafsir aktif makna budaya melalui digital storytelling, game edukatif, dan media reflektif; Ketiga, komunitas dilibatkan sebagai co-designer dalam kurikulum, bukan objek pasif pembelajaran.

Internalisasi Nilai Budaya dalam Desain Game Edukatif

Salah satu eksperimen yang dikembangkan di Madura adalah game edukatif “Petualangan Taretan”—sebuah prototipe yang mengintegrasikan nilai solidaritas, keberanian, dan hormat kepada orang tua dalam format digital interaktif. Desain ini mengikuti prinsip Direct Citizen Pedagogy yang dikembangkan oleh Musa Institute—pendekatan reflektif-partisipatif berbasis nilai Pancasila dan digital ethics melalui:

  • Menjadi pemain aktif dalam cerita;
  • Menghadapi dilema moral yang menuntut keputusan;
  • Merefleksikan nilai melalui jurnal digital yang dianalisis guru.

Jadi, apakah nilai budaya lokal dan inovasi warga digital saling bertentangan? Tidak. Justru keduanya saling membutuhkan. Budaya lokal memberi akar dan makna; sedangkan Inovasi warga memberi ruang dan alat untuk aktualisasi nilai secara kontekstual. Pendidikan Pancasila dan karakter digital di abad ke-21 bukan hanya soal menghafal nilai, tetapi tentang menafsirkan, merefleksikan, dan menciptakan nilai bersama.

Di sinilah masa depan pendidikan kewargaan: bukan sekadar “pendidikan tentang warga negara,” tetapi pendidikan oleh warga negara, untuk menciptakan masa depan yang lebih etis, kolaboratif, dan kontekstual.

Referensi (Bacaan Lebih Lanjut)

Penulis: Dr. Mujtahidin, S.Pd., M.Pd.
Lecturer at University of Trunojoyo Madura
Founder of Musa Foundation

mujtahidin@trunojoyo.ac.id

Civica Nusantara
Musa Institute, Indonesia

Categories: ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Apakah nilai-nilai budaya lokal dan inovasi warga digital merupakan dua pendekatan yang saling bertentangan, atau justru bisa bersinergi untuk masa depan pendidikan Pancasila? Selama bertahun-tahun, pendidikan karakter di Indonesia lebih banyak dibangun melalui dua jalur utama, yakni Integrasi nilai budaya lokal, seperti yang dikemukakan oleh Clifford Geertz (1973) dan pendekatan etnopedagogi yang diperkuat oleh Tilaar (2004); Di sisi lain, kita melihat munculnya pendekatan baru berbasis teknologi dan partisipasi warga digital melalui konsep Direct Citizen Innovation—pendekatan reflektif yang mendorong kolaborasi warga dalam membangun nilai dan solusi sosial melalui media digital.

Kedua pendekatan ini sering diposisikan secara dikotomis; Nilai budaya dianggap lamban, tradisional, dan lokal dan Inovasi warga digital dianggap cepat, disruptif, dan global. Namun pertanyaannya: Apakah keduanya benar-benar tidak bisa berjalan bersama?

Budaya Lokal sebagai Sistem Makna yang Dinamis

Clifford Geertz (1973) memandang budaya sebagai jaringan makna yang ditenun manusia dan perlu ditafsirkan melalui pendekatan thick description. Dalam konteks Madura, praktik seperti taretantemor pote tolang, atau ghibeng bukan sekadar tradisi, tetapi cerminan nilai-nilai yang membentuk identitas sosial dan moral masyarakat. Pendekatan ini menegaskan bahwa pendidikan karakter harus dimulai dari akar makna lokal. Seperti yang ditegaskan UNESCO (2023), pendidikan nilai yang kontekstual memiliki peluang lebih besar untuk membentuk perilaku reflektif dan empatik pada generasi muda(UNESCO, 2023).

Inovasi Warga sebagai Ruang Reflektif dan Kolaboratif

Sebaliknya, pendekatan Direct Citizen Innovation menekankan bahwa nilai-nilai sosial tidak cukup diwariskan, tetapi perlu diciptakan dan dikontekstualisasi ulang oleh warga secara aktif melalui proses kolaboratif, digital, dan reflektif (Vallor, 2021; OECD, 2023). Dalam pendidikan, ini berarti siswa bukan hanya menerima nilai, tetapi menjadi co‑creator nilai melalui media digital, game edukatif, atau proyek komunitas. Penelitian terbaru oleh Ruohonen & Hjerppe (2024) menunjukkan bahwa inovasi berbasis komunitas digital—yang menggabungkan teknologi, lokalitas, dan refleksi—dapat meningkatkan literasi etika dan rasa kepemilikan siswa terhadap nilai-nilai warga negara(arXiv:2403.03195).

Memadukan yang Lokal dan Digital: Bukan Pilih Salah Satu

Seperti ditekankan OECD (2023), pelibatan warga secara deliberatif dalam inovasi kebijakan pendidikan menghasilkan keputusan yang lebih inklusif dan berkelanjutan(OECD, 2023), budaya lokal dan inovasi warga digital dapat bersinergi dalam strategi pendidikan karakter. Alih-alih menempatkan budaya lokal sebagai “hiasan” kurikulum dan inovasi sebagai solusi asing yang lepas konteks, pendekatan etnopedagogi digital memungkinkan: pertama, budaya lokal menjadi materi hidup, bukan sekadar konten; kedua, Siswa menjadi penafsir aktif makna budaya melalui digital storytelling, game edukatif, dan media reflektif; Ketiga, komunitas dilibatkan sebagai co-designer dalam kurikulum, bukan objek pasif pembelajaran.

Internalisasi Nilai Budaya dalam Desain Game Edukatif

Salah satu eksperimen yang dikembangkan di Madura adalah game edukatif “Petualangan Taretan”—sebuah prototipe yang mengintegrasikan nilai solidaritas, keberanian, dan hormat kepada orang tua dalam format digital interaktif. Desain ini mengikuti prinsip Direct Citizen Pedagogy yang dikembangkan oleh Musa Institute—pendekatan reflektif-partisipatif berbasis nilai Pancasila dan digital ethics melalui:

  • Menjadi pemain aktif dalam cerita;
  • Menghadapi dilema moral yang menuntut keputusan;
  • Merefleksikan nilai melalui jurnal digital yang dianalisis guru.

Jadi, apakah nilai budaya lokal dan inovasi warga digital saling bertentangan? Tidak. Justru keduanya saling membutuhkan. Budaya lokal memberi akar dan makna; sedangkan Inovasi warga memberi ruang dan alat untuk aktualisasi nilai secara kontekstual. Pendidikan Pancasila dan karakter digital di abad ke-21 bukan hanya soal menghafal nilai, tetapi tentang menafsirkan, merefleksikan, dan menciptakan nilai bersama.

Di sinilah masa depan pendidikan kewargaan: bukan sekadar “pendidikan tentang warga negara,” tetapi pendidikan oleh warga negara, untuk menciptakan masa depan yang lebih etis, kolaboratif, dan kontekstual.

Referensi (Bacaan Lebih Lanjut)

Penulis: Dr. Mujtahidin, S.Pd., M.Pd.
Lecturer at University of Trunojoyo Madura
Founder of Musa Foundation

mujtahidin@trunojoyo.ac.id

Civica Nusantara
Musa Institute, Indonesia

Categories: ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *