Martabat Manusia di Era Digital: Menjaga Kemanusiaan dalam Arus Teknologi

Etika dan Krisis Martabat di Dunia Digital

Era digital menghadirkan percepatan tanpa batas. Dalam hitungan detik, manusia dapat melintasi ruang dan waktu—menghadiri kelas daring lintas benua, mengikuti rapat virtual, atau berinteraksi di media sosial tanpa sekat geografis. Namun, di balik kemudahan dan konektivitas ini, muncul krisis yang jauh lebih senyap: krisis martabat manusia.

Kemajuan teknologi telah memperluas ruang aktivitas manusia, namun di saat yang sama, menimbulkan ancaman baru terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di ruang digital, algoritma bekerja tanpa empati, mengubah manusia menjadi data, klik, dan angka statistik. Ketika nilai diri diukur dari jumlah followers, likes, dan views, maka makna keberadaan manusia mulai tereduksi menjadi performa semu.

UNICEF (2022) mencatat bahwa lebih dari separuh remaja dunia merasa “tidak berarti” bila tidak aktif di media sosial (crowded but lonely). Angka ini menunjukkan pergeseran nilai yang mengkhawatirkan: manusia kini lebih dihargai karena seberapa sering ia muncul di layar, bukan karena siapa dirinya. Fenomena ini menggambarkan zaman yang menukar being (keberadaan) dengan appearing (penampakan).

Dalam filsafat moral, Immanuel Kant menegaskan bahwa martabat manusia (dignity) adalah nilai yang tak dapat ditukar dengan apa pun. Manusia, katanya, harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk kepentingan lain. Pandangan ini sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (PBB, 1948), yang menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat serta hak-haknya. Hannah Arendt menambahkan bahwa martabat bukanlah hadiah dari negara atau teknologi, melainkan kondisi eksistensial yang melekat pada keberadaan manusia. Amartya Sen dan Martha Nussbaum pun menegaskan: kemajuan sejati hanya bermakna bila meningkatkan kapabilitas manusia untuk hidup bermartabat—bukan sekadar mempercepat lajunya.

Krisis martabat ini muncul dalam berbagai bentuk, antara lain: Pertama, memudarnya empati. Banyak orang menatap layar lebih lama daripada menatap sesama. Hubungan manusia menjadi fungsional, bukan emosional. Kedua, komunikasi instan tanpa makna. Pesan yang cepat namun dingin menjadikan relasi antarindividu mekanistik—seolah manusia berubah menjadi “robot dengan tubuh manusia”. Hanya empati yang dapat menghidupkan makna di balik komunikasi. Ketiga, fenomena learning loss digital. Banyak pelajar dan mahasiswa hadir di ruang virtual, tetapi tidak benar-benar “hadir secara makna”. Kehadiran semu ini menandai hilangnya dimensi afektif dalam belajar.

Pancasila dan Literasi Martabat Digital

Etika digital menjadi penting untuk mengembalikan kemanusiaan yang hilang. Belk (2014) memperkenalkan konsep digital empathy—kemampuan memahami perasaan orang lain dalam interaksi daring. Sementara itu, gagasan digital dignity menekankan hak setiap individu untuk diperlakukan secara manusiawi di ruang maya. Namun, kedua nilai ini kini diuji oleh dua arus besar yakni budaya performatif, yang menjadikan eksistensi tergantung pada performa digital, dan ekonomi perhatian yang memperlakukan perhatian manusia sebagai komoditas dagang. Akibatnya, manusia semakin dinilai dari kecepatan, bukan kedalaman; dari eksposur, bukan makna. Inilah paradoks peradaban digital: semakin terkoneksi, semakin rentan kehilangan kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, Sila Kedua Pancasila—Kemanusiaan yang adil dan beradab—menjadi fondasi moral untuk menilai seluruh dinamika digital. Nilai ini menegaskan bahwa martabat manusia tidak boleh ditawar, bahkan di tengah derasnya disrupsi teknologi. Empat prinsip berikut dapat dijadikan kerangka literasi martabat digital sebagai berikut.

Prinsip Kehadiran (Presence)

Kehadiran di ruang digital bukan sekadar kamera menyala atau akun aktif (kehadiran kosong tanpa substansi), melainkan kesadaran penuh untuk terlibat secara fisik, psikis, dan moral. Kehadiran bukan sekadar status “online” atau menyalakan kamera, melainkan keterlibatan penuh dalam mendengar, memahami, dan merespons dengan empati. Ia lahir dari niat untuk benar-benar hadir—bukan hanya tampil, tetapi berinteraksi secara bermakna. Dalam keluarga, misalnya, ketika melakukan panggilan video dengan orang tua, bentuk kehadiran sejati tampak saat kita mematikan notifikasi, fokus mendengarkan cerita, dan memberi tanggapan yang hangat, bukan sekadar menyampaikan kabar singkat. Di sekolah atau kampus, guru dapat meminta siswa hadir aktif dalam kelas daring—baik dengan menyalakan kamera dan ikut berdiskusi, atau bila berhalangan, tetap berpartisipasi lewat forum tertulis yang merefleksikan pemikiran pribadi. Dalam rapat kerja, kehadiran nyata tampak saat peserta menutup jendela lain, memberi giliran bicara, dan mencatat hasil diskusi untuk ditindaklanjuti. Di media sosial, kehadiran bermakna bisa diwujudkan dengan komentar yang menunjukkan pemahaman—seperti, “Terima kasih sudah berbagi, ceritamu mengingatkanku pada…”, bukan sekadar memberi tanda suka. Prinsip ini dapat diterapkan dengan disiplin sederhana: hindari multitasking dalam percakapan penting, aktifkan mode do not disturb selama pertemuan bermakna, dan di sekolah, ukur kualitas partisipasi, bukan sekadar jumlah kehadiran teknis.

Prinsip Keberadaan (Being)

Martabat tidak diukur dari frekuensi tampil di layar, melainkan dari makna dan kontribusi yang dihadirkan. Prinsip ini menolak logika visibilitas semu yang menukar nilai dengan popularitas. Keberadaan menegaskan bahwa manusia adalah subjek yang memiliki martabat, cerita, dan konteks kehidupan yang kompleks—bukan sekadar avatar, akun, atau angka statistik. Prinsip ini menuntun kita untuk menilai kontribusi berdasarkan makna dan kualitas, bukan popularitas. Dalam konteks akademik, mahasiswa idealnya menulis esai bukan hanya demi nilai, tetapi untuk menumbuhkan pemahaman; dosen pun menilai berdasarkan orisinalitas dan refleksi, bukan panjang halaman. Di platform media sosial, ketika algoritma cenderung menonjolkan yang viral, komunitas dapat menciptakan ruang kurasi lokal atau grup privat yang memberi panggung bagi suara-suara yang jarang terdengar. Dalam kebijakan organisasi, keberadaan bermakna terwujud saat lembaga pendidikan memberi dukungan akses bagi siswa rentan—seperti bantuan internet atau bimbingan mentor—agar mereka tidak terpinggirkan oleh statistik partisipasi semata. Prinsip ini bisa diperkuat dengan praktik reflektif sederhana: setiap tugas daring dapat diakhiri dengan pertanyaan, “Apa yang saya pahami, dan apa maknanya bagi saya?” Sementara itu, komunitas digital dapat membangun rubrik “suara yang jarang tampil” untuk menyorot kontribusi yang berbobot tetapi sering tersembunyi.

Prinsip Perlambatan (Slowness)

Dunia digital menuntut kecepatan, tetapi kemanusiaan tumbuh dalam perlambatan. Meluangkan waktu untuk menyapa, mendengarkan, dan merasakan adalah bentuk resistensi terhadap budaya instan dan algoritma yang menguras perhatian. Perlambatan bukan bentuk penolakan terhadap teknologi, melainkan upaya menyeimbangkan kecepatan digital dengan jeda reflektif yang memberi ruang bagi kesadaran dan kebijaksanaan. Prinsip ini menahan impuls untuk selalu ‘cepat membalas’, memberi waktu bagi pikiran dan perasaan agar komunikasi menjadi bermakna. Dalam komunikasi pribadi, misalnya, menghindari copy paste pesan instan sebelum mengirim pesan (chat), berhenti sejenak selama beberapa menit, baca ulang, dan menggunakan diksi kata-kata menjadi lebih konstruktif. Dalam proses kreatif, seorang pembuat konten dapat menunda publikasi untuk merevisi pesan yang sensitif atau menambahkan konteks agar lebih edukatif. Di lingkungan pembelajaran, guru bisa memberikan waktu refleksi setelah diskusi daring agar siswa menulis ringkasan pemikiran pribadi sebelum mengumpulkan tugas. Prinsip perlambatan juga melatih kesabaran sosial; sebuah organisasi dapat menetapkan tenggat waktu minimal 24 jam sebelum memberikan tanggapan terhadap isu atau kebijakan yang sensitif. Sebagai latihan sederhana, terapkan aturan tiga napas: ketika emosi muncul, tarik napas tiga kali sebelum mengirim pesan. Dalam keheningan sesaat itu, empati menemukan ruangnya.

Prinsip Kesetaraan (Equality)

Tidak semua orang memiliki panggung digital yang sama, tetapi setiap orang memiliki martabat yang setara. Kesetaraan ini menegaskan hak semua individu untuk dihormati, terlepas dari visibilitasnya di dunia maya. Kesetaraan menegaskan bahwa tidak semua orang memiliki akses, kemampuan, atau visibilitas digital yang sama. Menegakkan martabat berarti mengakui ketimpangan ini dan mengambil tindakan nyata untuk menjembataninya. Dalam konteks pendidikan, sekolah dan kampus dapat menyediakan paket data atau ruang belajar luring bagi siswa yang terkendala jaringan. Dalam kebijakan publik, pemerintah seharusnya menilai keberhasilan program digital bukan hanya dari jumlah pengguna atau kunjungan situs, tetapi dari sejauh mana program tersebut menjangkau kelompok rentan, seperti daerah terpencil dan penyandang disabilitas. Dalam komunitas daring, moderator dapat memberi ruang bicara bagi anggota yang lebih pendiam, menciptakan sesi khusus agar setiap suara mendapat tempat yang setara. Kesetaraan bukan berarti semua orang harus sama, tetapi setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihargai dan berpartisipasi. Praktik sederhana seperti membuat inventaris akses digital di lingkungan sekolah atau menerapkan aturan giliran bicara dan anti-perundungan dalam forum daring dapat menjadi langkah kecil menuju keadilan digital yang sejati.

Dengan prinsip-prinsip ini, ruang digital dapat menjadi arena pemberdayaan, bukan sekadar arena pertunjukan; ruang belajar, bukan medan perbandingan; ruang kemanusiaan, bukan kebisingan algoritmik. Prinsip-prinsip ini selaras dengan pandangan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang “menuntun kodrat anak sesuai martabatnya”, dan dengan pendekatan capabilities dari Martha Nussbaum, yang menekankan pentingnya memberi ruang bagi setiap individu untuk mewujudkan potensinya. Dunia digital yang etis seharusnya menjadi wahana pemberdayaan manusia, bukan alat pembatas kebebasan atau pengaburan identitas.

Menenun Kembali Rasa Kemanusiaan

Teknologi memang mampu mempercepat pesan, tetapi hanya empati yang dapat menyampaikan makna. Martabat manusia adalah inti dari keberadaban; tanpa itu, kemajuan digital hanya akan melahirkan mesin tanpa nurani. Pancasila memberikan kompas moral yang jelas: manusia harus tetap menjadi pusat, bukan korban dari teknologi. Dalam riuh data dan algoritma, kita perlu terus mengingat—manusia bernilai bukan karena tampak, melainkan karena ada; bukan karena viral, melainkan karena bermakna.

Empati adalah pengakuan atas eksistensi manusia lain. Ketika kita berhenti saling menatap dan mulai berbicara tanpa rasa, maka komunikasi kehilangan jiwanya. Tanpa empati, teknologi hanya menghasilkan komunikasi mekanistik — komunikasi yang cepat, tetapi hampa; akurat, tetapi dingin. Kita membutuhkan digital humanism sebagai gerakan sosial-digital sebagai gerakan kesadaran untuk mengembalikan manusia sebagai pusat dari seluruh inovasi. Sebab, kemajuan digital tanpa kemanusiaan hanyalah percepatan menuju kehampaan.

Teknologi dapat mempercepat pesan, tetapi hanya empati yang mampu menyampaikan makna. Di tengah derasnya arus data dan notifikasi, tugas kita bukanlah menjadi mesin yang sempurna, melainkan manusia yang hadir dengan rasa. Peradaban digital yang beradab hanya dapat tumbuh dari kesadaran bahwa kemanusiaan adalah fondasi sekaligus tujuan dari segala kemajuan. Dalam setiap klik, pesan, dan interaksi, semoga kita senantiasa mengingat: di balik layar, ada martabat kemanusiaan yang harus tetap terjaga dan dimuliakan.

Di dunia yang serba digital, tugas kita bukan sekadar menjadi pengguna teknologi, melainkan penjaga martabat kemanusiaan itu sendiri.

Penulis: Dr. Mujtahidin, M.Pd.
Akademisi PPKn, Universitas Trunojyo Madura
Founder of Musa Foundation, Indonesia
mujtahidin@trunojoyo.ac.id

Sumber Terkait

Belk, R. W. (2014). Digital consumption and the extended self. Journal of Marketing Management, 30(11–12), 1101–1118. https://doi.org/10.1108/JCM-04-2014-0935

Mussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press. https://www.hup.harvard.edu/books/9780674061200

UNESCO. (2021). Ethics of artificial intelligence and digital transformation. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000379920

UNESCO. (2022). UNESCO report on digital literacy and human dignity. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000381139

UNICEF. (2022). The state of the world’s children 2021–2022: On my mind – Promoting, protecting and caring for children’s mental health. UNICEF. https://www.unicef.org/reports/state-worlds-children-2021-2022

Pertanyaan reflektif: Bagaimanakah Anda menerapkan keempat prinsip literasi martabat digital dalam melakukan komunikasi digital atau dunia maya?

Etika dan Krisis Martabat di Dunia Digital

Era digital menghadirkan percepatan tanpa batas. Dalam hitungan detik, manusia dapat melintasi ruang dan waktu—menghadiri kelas daring lintas benua, mengikuti rapat virtual, atau berinteraksi di media sosial tanpa sekat geografis. Namun, di balik kemudahan dan konektivitas ini, muncul krisis yang jauh lebih senyap: krisis martabat manusia.

Kemajuan teknologi telah memperluas ruang aktivitas manusia, namun di saat yang sama, menimbulkan ancaman baru terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di ruang digital, algoritma bekerja tanpa empati, mengubah manusia menjadi data, klik, dan angka statistik. Ketika nilai diri diukur dari jumlah followers, likes, dan views, maka makna keberadaan manusia mulai tereduksi menjadi performa semu.

UNICEF (2022) mencatat bahwa lebih dari separuh remaja dunia merasa “tidak berarti” bila tidak aktif di media sosial (crowded but lonely). Angka ini menunjukkan pergeseran nilai yang mengkhawatirkan: manusia kini lebih dihargai karena seberapa sering ia muncul di layar, bukan karena siapa dirinya. Fenomena ini menggambarkan zaman yang menukar being (keberadaan) dengan appearing (penampakan).

Dalam filsafat moral, Immanuel Kant menegaskan bahwa martabat manusia (dignity) adalah nilai yang tak dapat ditukar dengan apa pun. Manusia, katanya, harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk kepentingan lain. Pandangan ini sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (PBB, 1948), yang menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat serta hak-haknya. Hannah Arendt menambahkan bahwa martabat bukanlah hadiah dari negara atau teknologi, melainkan kondisi eksistensial yang melekat pada keberadaan manusia. Amartya Sen dan Martha Nussbaum pun menegaskan: kemajuan sejati hanya bermakna bila meningkatkan kapabilitas manusia untuk hidup bermartabat—bukan sekadar mempercepat lajunya.

Krisis martabat ini muncul dalam berbagai bentuk, antara lain: Pertama, memudarnya empati. Banyak orang menatap layar lebih lama daripada menatap sesama. Hubungan manusia menjadi fungsional, bukan emosional. Kedua, komunikasi instan tanpa makna. Pesan yang cepat namun dingin menjadikan relasi antarindividu mekanistik—seolah manusia berubah menjadi “robot dengan tubuh manusia”. Hanya empati yang dapat menghidupkan makna di balik komunikasi. Ketiga, fenomena learning loss digital. Banyak pelajar dan mahasiswa hadir di ruang virtual, tetapi tidak benar-benar “hadir secara makna”. Kehadiran semu ini menandai hilangnya dimensi afektif dalam belajar.

Pancasila dan Literasi Martabat Digital

Etika digital menjadi penting untuk mengembalikan kemanusiaan yang hilang. Belk (2014) memperkenalkan konsep digital empathy—kemampuan memahami perasaan orang lain dalam interaksi daring. Sementara itu, gagasan digital dignity menekankan hak setiap individu untuk diperlakukan secara manusiawi di ruang maya. Namun, kedua nilai ini kini diuji oleh dua arus besar yakni budaya performatif, yang menjadikan eksistensi tergantung pada performa digital, dan ekonomi perhatian yang memperlakukan perhatian manusia sebagai komoditas dagang. Akibatnya, manusia semakin dinilai dari kecepatan, bukan kedalaman; dari eksposur, bukan makna. Inilah paradoks peradaban digital: semakin terkoneksi, semakin rentan kehilangan kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, Sila Kedua Pancasila—Kemanusiaan yang adil dan beradab—menjadi fondasi moral untuk menilai seluruh dinamika digital. Nilai ini menegaskan bahwa martabat manusia tidak boleh ditawar, bahkan di tengah derasnya disrupsi teknologi. Empat prinsip berikut dapat dijadikan kerangka literasi martabat digital sebagai berikut.

Prinsip Kehadiran (Presence)

Kehadiran di ruang digital bukan sekadar kamera menyala atau akun aktif (kehadiran kosong tanpa substansi), melainkan kesadaran penuh untuk terlibat secara fisik, psikis, dan moral. Kehadiran bukan sekadar status “online” atau menyalakan kamera, melainkan keterlibatan penuh dalam mendengar, memahami, dan merespons dengan empati. Ia lahir dari niat untuk benar-benar hadir—bukan hanya tampil, tetapi berinteraksi secara bermakna. Dalam keluarga, misalnya, ketika melakukan panggilan video dengan orang tua, bentuk kehadiran sejati tampak saat kita mematikan notifikasi, fokus mendengarkan cerita, dan memberi tanggapan yang hangat, bukan sekadar menyampaikan kabar singkat. Di sekolah atau kampus, guru dapat meminta siswa hadir aktif dalam kelas daring—baik dengan menyalakan kamera dan ikut berdiskusi, atau bila berhalangan, tetap berpartisipasi lewat forum tertulis yang merefleksikan pemikiran pribadi. Dalam rapat kerja, kehadiran nyata tampak saat peserta menutup jendela lain, memberi giliran bicara, dan mencatat hasil diskusi untuk ditindaklanjuti. Di media sosial, kehadiran bermakna bisa diwujudkan dengan komentar yang menunjukkan pemahaman—seperti, “Terima kasih sudah berbagi, ceritamu mengingatkanku pada…”, bukan sekadar memberi tanda suka. Prinsip ini dapat diterapkan dengan disiplin sederhana: hindari multitasking dalam percakapan penting, aktifkan mode do not disturb selama pertemuan bermakna, dan di sekolah, ukur kualitas partisipasi, bukan sekadar jumlah kehadiran teknis.

Prinsip Keberadaan (Being)

Martabat tidak diukur dari frekuensi tampil di layar, melainkan dari makna dan kontribusi yang dihadirkan. Prinsip ini menolak logika visibilitas semu yang menukar nilai dengan popularitas. Keberadaan menegaskan bahwa manusia adalah subjek yang memiliki martabat, cerita, dan konteks kehidupan yang kompleks—bukan sekadar avatar, akun, atau angka statistik. Prinsip ini menuntun kita untuk menilai kontribusi berdasarkan makna dan kualitas, bukan popularitas. Dalam konteks akademik, mahasiswa idealnya menulis esai bukan hanya demi nilai, tetapi untuk menumbuhkan pemahaman; dosen pun menilai berdasarkan orisinalitas dan refleksi, bukan panjang halaman. Di platform media sosial, ketika algoritma cenderung menonjolkan yang viral, komunitas dapat menciptakan ruang kurasi lokal atau grup privat yang memberi panggung bagi suara-suara yang jarang terdengar. Dalam kebijakan organisasi, keberadaan bermakna terwujud saat lembaga pendidikan memberi dukungan akses bagi siswa rentan—seperti bantuan internet atau bimbingan mentor—agar mereka tidak terpinggirkan oleh statistik partisipasi semata. Prinsip ini bisa diperkuat dengan praktik reflektif sederhana: setiap tugas daring dapat diakhiri dengan pertanyaan, “Apa yang saya pahami, dan apa maknanya bagi saya?” Sementara itu, komunitas digital dapat membangun rubrik “suara yang jarang tampil” untuk menyorot kontribusi yang berbobot tetapi sering tersembunyi.

Prinsip Perlambatan (Slowness)

Dunia digital menuntut kecepatan, tetapi kemanusiaan tumbuh dalam perlambatan. Meluangkan waktu untuk menyapa, mendengarkan, dan merasakan adalah bentuk resistensi terhadap budaya instan dan algoritma yang menguras perhatian. Perlambatan bukan bentuk penolakan terhadap teknologi, melainkan upaya menyeimbangkan kecepatan digital dengan jeda reflektif yang memberi ruang bagi kesadaran dan kebijaksanaan. Prinsip ini menahan impuls untuk selalu ‘cepat membalas’, memberi waktu bagi pikiran dan perasaan agar komunikasi menjadi bermakna. Dalam komunikasi pribadi, misalnya, menghindari copy paste pesan instan sebelum mengirim pesan (chat), berhenti sejenak selama beberapa menit, baca ulang, dan menggunakan diksi kata-kata menjadi lebih konstruktif. Dalam proses kreatif, seorang pembuat konten dapat menunda publikasi untuk merevisi pesan yang sensitif atau menambahkan konteks agar lebih edukatif. Di lingkungan pembelajaran, guru bisa memberikan waktu refleksi setelah diskusi daring agar siswa menulis ringkasan pemikiran pribadi sebelum mengumpulkan tugas. Prinsip perlambatan juga melatih kesabaran sosial; sebuah organisasi dapat menetapkan tenggat waktu minimal 24 jam sebelum memberikan tanggapan terhadap isu atau kebijakan yang sensitif. Sebagai latihan sederhana, terapkan aturan tiga napas: ketika emosi muncul, tarik napas tiga kali sebelum mengirim pesan. Dalam keheningan sesaat itu, empati menemukan ruangnya.

Prinsip Kesetaraan (Equality)

Tidak semua orang memiliki panggung digital yang sama, tetapi setiap orang memiliki martabat yang setara. Kesetaraan ini menegaskan hak semua individu untuk dihormati, terlepas dari visibilitasnya di dunia maya. Kesetaraan menegaskan bahwa tidak semua orang memiliki akses, kemampuan, atau visibilitas digital yang sama. Menegakkan martabat berarti mengakui ketimpangan ini dan mengambil tindakan nyata untuk menjembataninya. Dalam konteks pendidikan, sekolah dan kampus dapat menyediakan paket data atau ruang belajar luring bagi siswa yang terkendala jaringan. Dalam kebijakan publik, pemerintah seharusnya menilai keberhasilan program digital bukan hanya dari jumlah pengguna atau kunjungan situs, tetapi dari sejauh mana program tersebut menjangkau kelompok rentan, seperti daerah terpencil dan penyandang disabilitas. Dalam komunitas daring, moderator dapat memberi ruang bicara bagi anggota yang lebih pendiam, menciptakan sesi khusus agar setiap suara mendapat tempat yang setara. Kesetaraan bukan berarti semua orang harus sama, tetapi setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihargai dan berpartisipasi. Praktik sederhana seperti membuat inventaris akses digital di lingkungan sekolah atau menerapkan aturan giliran bicara dan anti-perundungan dalam forum daring dapat menjadi langkah kecil menuju keadilan digital yang sejati.

Dengan prinsip-prinsip ini, ruang digital dapat menjadi arena pemberdayaan, bukan sekadar arena pertunjukan; ruang belajar, bukan medan perbandingan; ruang kemanusiaan, bukan kebisingan algoritmik. Prinsip-prinsip ini selaras dengan pandangan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang “menuntun kodrat anak sesuai martabatnya”, dan dengan pendekatan capabilities dari Martha Nussbaum, yang menekankan pentingnya memberi ruang bagi setiap individu untuk mewujudkan potensinya. Dunia digital yang etis seharusnya menjadi wahana pemberdayaan manusia, bukan alat pembatas kebebasan atau pengaburan identitas.

Menenun Kembali Rasa Kemanusiaan

Teknologi memang mampu mempercepat pesan, tetapi hanya empati yang dapat menyampaikan makna. Martabat manusia adalah inti dari keberadaban; tanpa itu, kemajuan digital hanya akan melahirkan mesin tanpa nurani. Pancasila memberikan kompas moral yang jelas: manusia harus tetap menjadi pusat, bukan korban dari teknologi. Dalam riuh data dan algoritma, kita perlu terus mengingat—manusia bernilai bukan karena tampak, melainkan karena ada; bukan karena viral, melainkan karena bermakna.

Empati adalah pengakuan atas eksistensi manusia lain. Ketika kita berhenti saling menatap dan mulai berbicara tanpa rasa, maka komunikasi kehilangan jiwanya. Tanpa empati, teknologi hanya menghasilkan komunikasi mekanistik — komunikasi yang cepat, tetapi hampa; akurat, tetapi dingin. Kita membutuhkan digital humanism sebagai gerakan sosial-digital sebagai gerakan kesadaran untuk mengembalikan manusia sebagai pusat dari seluruh inovasi. Sebab, kemajuan digital tanpa kemanusiaan hanyalah percepatan menuju kehampaan.

Teknologi dapat mempercepat pesan, tetapi hanya empati yang mampu menyampaikan makna. Di tengah derasnya arus data dan notifikasi, tugas kita bukanlah menjadi mesin yang sempurna, melainkan manusia yang hadir dengan rasa. Peradaban digital yang beradab hanya dapat tumbuh dari kesadaran bahwa kemanusiaan adalah fondasi sekaligus tujuan dari segala kemajuan. Dalam setiap klik, pesan, dan interaksi, semoga kita senantiasa mengingat: di balik layar, ada martabat kemanusiaan yang harus tetap terjaga dan dimuliakan.

Di dunia yang serba digital, tugas kita bukan sekadar menjadi pengguna teknologi, melainkan penjaga martabat kemanusiaan itu sendiri.

Penulis: Dr. Mujtahidin, M.Pd.
Akademisi PPKn, Universitas Trunojyo Madura
Founder of Musa Foundation, Indonesia
mujtahidin@trunojoyo.ac.id

Sumber Terkait

Belk, R. W. (2014). Digital consumption and the extended self. Journal of Marketing Management, 30(11–12), 1101–1118. https://doi.org/10.1108/JCM-04-2014-0935

Mussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press. https://www.hup.harvard.edu/books/9780674061200

UNESCO. (2021). Ethics of artificial intelligence and digital transformation. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000379920

UNESCO. (2022). UNESCO report on digital literacy and human dignity. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000381139

UNICEF. (2022). The state of the world’s children 2021–2022: On my mind – Promoting, protecting and caring for children’s mental health. UNICEF. https://www.unicef.org/reports/state-worlds-children-2021-2022

Pertanyaan reflektif: Bagaimanakah Anda menerapkan keempat prinsip literasi martabat digital dalam melakukan komunikasi digital atau dunia maya?

Categories: ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Etika dan Krisis Martabat di Dunia Digital

Era digital menghadirkan percepatan tanpa batas. Dalam hitungan detik, manusia dapat melintasi ruang dan waktu—menghadiri kelas daring lintas benua, mengikuti rapat virtual, atau berinteraksi di media sosial tanpa sekat geografis. Namun, di balik kemudahan dan konektivitas ini, muncul krisis yang jauh lebih senyap: krisis martabat manusia.

Kemajuan teknologi telah memperluas ruang aktivitas manusia, namun di saat yang sama, menimbulkan ancaman baru terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Di ruang digital, algoritma bekerja tanpa empati, mengubah manusia menjadi data, klik, dan angka statistik. Ketika nilai diri diukur dari jumlah followers, likes, dan views, maka makna keberadaan manusia mulai tereduksi menjadi performa semu.

UNICEF (2022) mencatat bahwa lebih dari separuh remaja dunia merasa “tidak berarti” bila tidak aktif di media sosial (crowded but lonely). Angka ini menunjukkan pergeseran nilai yang mengkhawatirkan: manusia kini lebih dihargai karena seberapa sering ia muncul di layar, bukan karena siapa dirinya. Fenomena ini menggambarkan zaman yang menukar being (keberadaan) dengan appearing (penampakan).

Dalam filsafat moral, Immanuel Kant menegaskan bahwa martabat manusia (dignity) adalah nilai yang tak dapat ditukar dengan apa pun. Manusia, katanya, harus selalu diperlakukan sebagai tujuan pada dirinya sendiri, bukan sebagai alat untuk kepentingan lain. Pandangan ini sejalan dengan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (PBB, 1948), yang menyatakan bahwa semua manusia dilahirkan merdeka dan setara dalam martabat serta hak-haknya. Hannah Arendt menambahkan bahwa martabat bukanlah hadiah dari negara atau teknologi, melainkan kondisi eksistensial yang melekat pada keberadaan manusia. Amartya Sen dan Martha Nussbaum pun menegaskan: kemajuan sejati hanya bermakna bila meningkatkan kapabilitas manusia untuk hidup bermartabat—bukan sekadar mempercepat lajunya.

Krisis martabat ini muncul dalam berbagai bentuk, antara lain: Pertama, memudarnya empati. Banyak orang menatap layar lebih lama daripada menatap sesama. Hubungan manusia menjadi fungsional, bukan emosional. Kedua, komunikasi instan tanpa makna. Pesan yang cepat namun dingin menjadikan relasi antarindividu mekanistik—seolah manusia berubah menjadi “robot dengan tubuh manusia”. Hanya empati yang dapat menghidupkan makna di balik komunikasi. Ketiga, fenomena learning loss digital. Banyak pelajar dan mahasiswa hadir di ruang virtual, tetapi tidak benar-benar “hadir secara makna”. Kehadiran semu ini menandai hilangnya dimensi afektif dalam belajar.

Pancasila dan Literasi Martabat Digital

Etika digital menjadi penting untuk mengembalikan kemanusiaan yang hilang. Belk (2014) memperkenalkan konsep digital empathy—kemampuan memahami perasaan orang lain dalam interaksi daring. Sementara itu, gagasan digital dignity menekankan hak setiap individu untuk diperlakukan secara manusiawi di ruang maya. Namun, kedua nilai ini kini diuji oleh dua arus besar yakni budaya performatif, yang menjadikan eksistensi tergantung pada performa digital, dan ekonomi perhatian yang memperlakukan perhatian manusia sebagai komoditas dagang. Akibatnya, manusia semakin dinilai dari kecepatan, bukan kedalaman; dari eksposur, bukan makna. Inilah paradoks peradaban digital: semakin terkoneksi, semakin rentan kehilangan kemanusiaan.

Dalam konteks Indonesia, Sila Kedua Pancasila—Kemanusiaan yang adil dan beradab—menjadi fondasi moral untuk menilai seluruh dinamika digital. Nilai ini menegaskan bahwa martabat manusia tidak boleh ditawar, bahkan di tengah derasnya disrupsi teknologi. Empat prinsip berikut dapat dijadikan kerangka literasi martabat digital sebagai berikut.

Prinsip Kehadiran (Presence)

Kehadiran di ruang digital bukan sekadar kamera menyala atau akun aktif (kehadiran kosong tanpa substansi), melainkan kesadaran penuh untuk terlibat secara fisik, psikis, dan moral. Kehadiran bukan sekadar status “online” atau menyalakan kamera, melainkan keterlibatan penuh dalam mendengar, memahami, dan merespons dengan empati. Ia lahir dari niat untuk benar-benar hadir—bukan hanya tampil, tetapi berinteraksi secara bermakna. Dalam keluarga, misalnya, ketika melakukan panggilan video dengan orang tua, bentuk kehadiran sejati tampak saat kita mematikan notifikasi, fokus mendengarkan cerita, dan memberi tanggapan yang hangat, bukan sekadar menyampaikan kabar singkat. Di sekolah atau kampus, guru dapat meminta siswa hadir aktif dalam kelas daring—baik dengan menyalakan kamera dan ikut berdiskusi, atau bila berhalangan, tetap berpartisipasi lewat forum tertulis yang merefleksikan pemikiran pribadi. Dalam rapat kerja, kehadiran nyata tampak saat peserta menutup jendela lain, memberi giliran bicara, dan mencatat hasil diskusi untuk ditindaklanjuti. Di media sosial, kehadiran bermakna bisa diwujudkan dengan komentar yang menunjukkan pemahaman—seperti, “Terima kasih sudah berbagi, ceritamu mengingatkanku pada…”, bukan sekadar memberi tanda suka. Prinsip ini dapat diterapkan dengan disiplin sederhana: hindari multitasking dalam percakapan penting, aktifkan mode do not disturb selama pertemuan bermakna, dan di sekolah, ukur kualitas partisipasi, bukan sekadar jumlah kehadiran teknis.

Prinsip Keberadaan (Being)

Martabat tidak diukur dari frekuensi tampil di layar, melainkan dari makna dan kontribusi yang dihadirkan. Prinsip ini menolak logika visibilitas semu yang menukar nilai dengan popularitas. Keberadaan menegaskan bahwa manusia adalah subjek yang memiliki martabat, cerita, dan konteks kehidupan yang kompleks—bukan sekadar avatar, akun, atau angka statistik. Prinsip ini menuntun kita untuk menilai kontribusi berdasarkan makna dan kualitas, bukan popularitas. Dalam konteks akademik, mahasiswa idealnya menulis esai bukan hanya demi nilai, tetapi untuk menumbuhkan pemahaman; dosen pun menilai berdasarkan orisinalitas dan refleksi, bukan panjang halaman. Di platform media sosial, ketika algoritma cenderung menonjolkan yang viral, komunitas dapat menciptakan ruang kurasi lokal atau grup privat yang memberi panggung bagi suara-suara yang jarang terdengar. Dalam kebijakan organisasi, keberadaan bermakna terwujud saat lembaga pendidikan memberi dukungan akses bagi siswa rentan—seperti bantuan internet atau bimbingan mentor—agar mereka tidak terpinggirkan oleh statistik partisipasi semata. Prinsip ini bisa diperkuat dengan praktik reflektif sederhana: setiap tugas daring dapat diakhiri dengan pertanyaan, “Apa yang saya pahami, dan apa maknanya bagi saya?” Sementara itu, komunitas digital dapat membangun rubrik “suara yang jarang tampil” untuk menyorot kontribusi yang berbobot tetapi sering tersembunyi.

Prinsip Perlambatan (Slowness)

Dunia digital menuntut kecepatan, tetapi kemanusiaan tumbuh dalam perlambatan. Meluangkan waktu untuk menyapa, mendengarkan, dan merasakan adalah bentuk resistensi terhadap budaya instan dan algoritma yang menguras perhatian. Perlambatan bukan bentuk penolakan terhadap teknologi, melainkan upaya menyeimbangkan kecepatan digital dengan jeda reflektif yang memberi ruang bagi kesadaran dan kebijaksanaan. Prinsip ini menahan impuls untuk selalu ‘cepat membalas’, memberi waktu bagi pikiran dan perasaan agar komunikasi menjadi bermakna. Dalam komunikasi pribadi, misalnya, menghindari copy paste pesan instan sebelum mengirim pesan (chat), berhenti sejenak selama beberapa menit, baca ulang, dan menggunakan diksi kata-kata menjadi lebih konstruktif. Dalam proses kreatif, seorang pembuat konten dapat menunda publikasi untuk merevisi pesan yang sensitif atau menambahkan konteks agar lebih edukatif. Di lingkungan pembelajaran, guru bisa memberikan waktu refleksi setelah diskusi daring agar siswa menulis ringkasan pemikiran pribadi sebelum mengumpulkan tugas. Prinsip perlambatan juga melatih kesabaran sosial; sebuah organisasi dapat menetapkan tenggat waktu minimal 24 jam sebelum memberikan tanggapan terhadap isu atau kebijakan yang sensitif. Sebagai latihan sederhana, terapkan aturan tiga napas: ketika emosi muncul, tarik napas tiga kali sebelum mengirim pesan. Dalam keheningan sesaat itu, empati menemukan ruangnya.

Prinsip Kesetaraan (Equality)

Tidak semua orang memiliki panggung digital yang sama, tetapi setiap orang memiliki martabat yang setara. Kesetaraan ini menegaskan hak semua individu untuk dihormati, terlepas dari visibilitasnya di dunia maya. Kesetaraan menegaskan bahwa tidak semua orang memiliki akses, kemampuan, atau visibilitas digital yang sama. Menegakkan martabat berarti mengakui ketimpangan ini dan mengambil tindakan nyata untuk menjembataninya. Dalam konteks pendidikan, sekolah dan kampus dapat menyediakan paket data atau ruang belajar luring bagi siswa yang terkendala jaringan. Dalam kebijakan publik, pemerintah seharusnya menilai keberhasilan program digital bukan hanya dari jumlah pengguna atau kunjungan situs, tetapi dari sejauh mana program tersebut menjangkau kelompok rentan, seperti daerah terpencil dan penyandang disabilitas. Dalam komunitas daring, moderator dapat memberi ruang bicara bagi anggota yang lebih pendiam, menciptakan sesi khusus agar setiap suara mendapat tempat yang setara. Kesetaraan bukan berarti semua orang harus sama, tetapi setiap orang memiliki hak yang sama untuk dihargai dan berpartisipasi. Praktik sederhana seperti membuat inventaris akses digital di lingkungan sekolah atau menerapkan aturan giliran bicara dan anti-perundungan dalam forum daring dapat menjadi langkah kecil menuju keadilan digital yang sejati.

Dengan prinsip-prinsip ini, ruang digital dapat menjadi arena pemberdayaan, bukan sekadar arena pertunjukan; ruang belajar, bukan medan perbandingan; ruang kemanusiaan, bukan kebisingan algoritmik. Prinsip-prinsip ini selaras dengan pandangan Ki Hajar Dewantara tentang pendidikan yang “menuntun kodrat anak sesuai martabatnya”, dan dengan pendekatan capabilities dari Martha Nussbaum, yang menekankan pentingnya memberi ruang bagi setiap individu untuk mewujudkan potensinya. Dunia digital yang etis seharusnya menjadi wahana pemberdayaan manusia, bukan alat pembatas kebebasan atau pengaburan identitas.

Menenun Kembali Rasa Kemanusiaan

Teknologi memang mampu mempercepat pesan, tetapi hanya empati yang dapat menyampaikan makna. Martabat manusia adalah inti dari keberadaban; tanpa itu, kemajuan digital hanya akan melahirkan mesin tanpa nurani. Pancasila memberikan kompas moral yang jelas: manusia harus tetap menjadi pusat, bukan korban dari teknologi. Dalam riuh data dan algoritma, kita perlu terus mengingat—manusia bernilai bukan karena tampak, melainkan karena ada; bukan karena viral, melainkan karena bermakna.

Empati adalah pengakuan atas eksistensi manusia lain. Ketika kita berhenti saling menatap dan mulai berbicara tanpa rasa, maka komunikasi kehilangan jiwanya. Tanpa empati, teknologi hanya menghasilkan komunikasi mekanistik — komunikasi yang cepat, tetapi hampa; akurat, tetapi dingin. Kita membutuhkan digital humanism sebagai gerakan sosial-digital sebagai gerakan kesadaran untuk mengembalikan manusia sebagai pusat dari seluruh inovasi. Sebab, kemajuan digital tanpa kemanusiaan hanyalah percepatan menuju kehampaan.

Teknologi dapat mempercepat pesan, tetapi hanya empati yang mampu menyampaikan makna. Di tengah derasnya arus data dan notifikasi, tugas kita bukanlah menjadi mesin yang sempurna, melainkan manusia yang hadir dengan rasa. Peradaban digital yang beradab hanya dapat tumbuh dari kesadaran bahwa kemanusiaan adalah fondasi sekaligus tujuan dari segala kemajuan. Dalam setiap klik, pesan, dan interaksi, semoga kita senantiasa mengingat: di balik layar, ada martabat kemanusiaan yang harus tetap terjaga dan dimuliakan.

Di dunia yang serba digital, tugas kita bukan sekadar menjadi pengguna teknologi, melainkan penjaga martabat kemanusiaan itu sendiri.

Penulis: Dr. Mujtahidin, M.Pd.
Akademisi PPKn, Universitas Trunojyo Madura
Founder of Musa Foundation, Indonesia
mujtahidin@trunojoyo.ac.id

Sumber Terkait

Belk, R. W. (2014). Digital consumption and the extended self. Journal of Marketing Management, 30(11–12), 1101–1118. https://doi.org/10.1108/JCM-04-2014-0935

Mussbaum, M. C. (2011). Creating capabilities: The human development approach. Harvard University Press. https://www.hup.harvard.edu/books/9780674061200

UNESCO. (2021). Ethics of artificial intelligence and digital transformation. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000379920

UNESCO. (2022). UNESCO report on digital literacy and human dignity. UNESCO Publishing. https://unesdoc.unesco.org/ark:/48223/pf0000381139

UNICEF. (2022). The state of the world’s children 2021–2022: On my mind – Promoting, protecting and caring for children’s mental health. UNICEF. https://www.unicef.org/reports/state-worlds-children-2021-2022

Pertanyaan reflektif: Bagaimanakah Anda menerapkan keempat prinsip literasi martabat digital dalam melakukan komunikasi digital atau dunia maya?

Categories: ,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *