Pendidikan sebagai Ruang Pemulihan Makna
“Ketika teknologi mempercepat arus pesan, tetapi hanya empati yang dapat menyalurkan makna, bagaimanakah pendidik dapat memastikan bahwa pendidikan tetap memuliakan martabat manusia di tengah otomatisasi dan algoritmisasi kehidupan?”
Di tengah derasnya arus digitalisasi dan otomatisasi kehidupan, pendidikan dihadapkan pada dilema eksistensial: apakah manusia masih menjadi pusat dari proses belajar, ataukah telah digantikan oleh sistem dan algoritma yang bekerja tanpa rasa? Pertanyaan ini menuntun kita kembali pada hakikat pendidikan: sebuah perjalanan spiritual dan intelektual untuk menumbuhkan kemanusiaan.
Teknologi memang telah mempercepat komunikasi, tetapi tidak menjamin terjadinya perjumpaan makna. Pesan yang sampai dengan cepat sering kali kehilangan kedalaman emosional dan konteks kemanusiaannya. Dalam ruang digital, manusia dapat hadir tanpa benar-benar “hadir”. Maka, tugas utama pendidik bukan hanya mentransfer pengetahuan, melainkan memulihkan makna kehadiran dan empati dalam proses belajar.
Pendidikan yang memuliakan martabat manusia harus menjadi ruang pemulihan makna. Di era ketika siswa mudah mencari jawaban instan melalui mesin pencari, pendidik perlu menuntun mereka untuk tidak sekadar mengetahui, tetapi memahami.
Ketika guru mengajak murid berdiskusi tentang dampak unggahan di media sosial terhadap perasaan orang lain, ia sesungguhnya sedang menanamkan empati digital — kesadaran bahwa di balik setiap teks dan data, ada manusia yang memiliki hati.
Etika Kehadiran dan Empati Digital
Otomatisasi sering membuat manusia bekerja tanpa berpikir dan berinteraksi tanpa refleksi. Pendidik berperan menumbuhkan kesadaran diri (self-awareness) agar peserta didik tidak menjadi sekadar “produk algoritma”. Mahasiswa calon guru, misalnya, perlu diajak menyadari bagaimana kecerdasan buatan memengaruhi pola pikir, minat, bahkan persepsi mereka tentang dunia. Refleksi seperti ini mengajarkan bahwa menjadi manusia berarti tetap memiliki kendali etis atas pilihan dan tindakan, bukan sekadar mengikuti arus digital.
Dalam ruang virtual, kehadiran sejati adalah bentuk baru dari etika. Pendidik yang hadir secara autentik — menyapa, mendengarkan, dan memberi umpan balik dengan empati — sedang menegakkan martabat manusia di dunia digital. Empati digital bukan tentang “berbaik hati di media sosial,” melainkan kemampuan untuk mengakui keberadaan manusia lain di balik layar. Dari sinilah lahir relasi belajar yang bermakna: ruang digital menjadi arena pemberdayaan, bukan pertunjukan; tempat belajar, bukan sekadar ruang perbandingan.
Sebagaimana dikatakan Martha Nussbaum (2011), tujuan pendidikan sejati adalah creating capabilities — membangun kemampuan manusia untuk hidup dengan martabat, berpikir kritis, dan berempati. Dalam arti ini, pendidikan memiliki dimensi spiritual yang dalam: ia meneguhkan kemanusiaan di tengah dunia yang kian mekanistik.
Pendidikan sebagai Benteng Martabat Kemanusiaan
Teknologi mempercepat pesan, tetapi hanya empati yang menghubungkan hati. Teknologi hanyalah sarana, bukan pengganti kemanusiaan. Pendidik adalah penjaga batas antara efisiensi dan kemanusiaan, antara kecepatan dan makna. Ketika algoritma mengatur perilaku dan perhatian manusia, pendidikan harus menjadi ruang untuk mengingat kembali siapa kita: makhluk yang berpikir, merasa, dan mengasihi.
Di tangan pendidik yang sadar akan martabat kemanusiaan, teknologi bukan ancaman, melainkan jembatan menuju dunia yang lebih manusiawi — di mana belajar kembali berarti menjadi manusia seutuhnya.
Penulis: Dr. Mujtahidin, M.Pd
Tinggalkan Balasan